Di sebuah ruang dosen Lab Elektronika Universitas Airlangga, Surabaya, sekelompok dosen Fisika dari Fakultas Sains dan Teknologi sedang menikmati kopi hitam dan gorengan. Suasana santai berubah mendebarkan ketika salah satu dosen berbagi pengalaman: ia menemukan laporan ujian mahasiswanya tentang Fisika statistik yang ternyata dibuat oleh ChatGPT. Dengan sekali klik, AI itu menghasilkan laporan lengkap dengan analisis, grafik, dan kesimpulan yang rapi dalam hitungan detik. “Masa iya mesin bisa bikin laporan seilmiah ini?” tanya dosen lain, setengah kagum, setengah khawatir.

Rasa penasaran pun muncul. Salah satu dosen mengeluarkan laptop dan mencoba ChatGPT di depan rekan-rekannya. Dalam sekejap, layar menampilkan analisis tentang efek fotolistrik yang begitu terstruktur, lengkap dengan persamaan dan referensi jurnal. Bagi para dosen Fisika, momen ini seperti menyaksikan tabir masa depan pendidikan tinggi: penuh potensi, tetapi juga menakutkan. Pertanyaan besar pun mengemuka: haruskah kampus-kampus di Indonesia, seperti Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, atau Institut Teknologi Bandung, melarang AI seperti ChatGPT? Atau justru memanfaatkannya untuk merevolusi cara mahasiswa belajar dan dosen mengajar?

Di tengah kekhawatiran ini, pandangan optimistis dari Sal Khan, pendiri Khan Academy, dan Marc Natanagara, seorang pendidik, membawa inspirasi. Khan melihat AI sebagai kunci transformasi pendidikan terbesar dalam sejarah, dengan potensi memberikan setiap mahasiswa tutor pribadi berbasis AI dan setiap dosen asisten pengajar cerdas. Natanagara menegaskan bahwa ancaman sebenarnya bukan AI, melainkan cara kita mengukur kecerdasan manusia yang terlalu berfokus pada hafalan. Bersama, mereka menawarkan visi baru: AI bukan musuh, tetapi mitra yang bisa mengubah wajah pendidikan tinggi di Indonesia, asalkan kampus berani beradaptasi dengan model belajar dan ujian yang relevan di era digital.

ChatGPT: Gelombang Baru yang Mengguncang Kampus Indonesia

Sejak dirilis oleh OpenAI pada November 2022, ChatGPT menjadi topik hangat di kalangan akademisi Indonesia. Sebagai large language model, AI ini belajar dari interaksi dan semakin akurat seiring waktu. Bayangkan asisten virtual yang bisa menulis makalah tentang termodinamika, membuat simulasi fisika partikel, atau menyusun kode untuk analisis data ilmiah—semua dalam hitungan detik. Di kampus seperti Universitas Airlangga, mahasiswa Fisika mulai menggunakan ChatGPT untuk merangkum jurnal, menyelesaikan soal kinematika, atau menulis laporan praktikum.

Kemampuan AI terus berkembang. GPT-4, versi terbaru, bisa menganalisis gambar, seperti spektrum sinar-X atau diagram Feynman, dan memproses tautan web untuk riset instan. Microsoft mengintegrasikannya ke Bing dan berencana membawanya ke Microsoft Office, alat wajib untuk makalah dan presentasi akademik. Google meluncurkan Bard sebagai pesaing. Natanagara mengingatkan pada tonggak sejarah AI: Deep Blue mengalahkan Garry Kasparov pada 1996, Watson memenangkan Jeopardy pada 2011, hingga ChatGPT lulus ujian pengacara dengan skor 10% teratas pada 2023. AI kini ada di mana-mana, termasuk Indonesia, di mana platform seperti Gojek dan Shopee memanfaatkan AI untuk efisiensi.

Namun, di balik potensi ini, dosen di Universitas Airlangga dan kampus lain dilanda kepanikan. Pasca-pandemi, kemampuan berpikir kritis mahasiswa menurun, terutama dalam memecahkan masalah fisika kompleks atau merancang eksperimen orisinal. Dengan AI yang bisa “mengerjakan” tugas kuliah, kekhawatiran muncul: bagaimana mahasiswa bisa belajar jika mesin melakukan semua pekerjaan? Beberapa dosen melaporkan kasus plagiarisme berbasis AI, yang sulit dideteksi karena tulisan ChatGPT terlihat sangat “manusiawi.”

AI sebagai Tutor dan Asisten: Solusi untuk Kampus Indonesia

Sebagai conoh Sal Khan menawarkan solusi inspiratif: bayangkan setiap mahasiswa di Indonesia memiliki tutor pribadi berbasis AI. Di Khan Academy, AI mereka, Khanmigo, dirancang untuk membimbing, bukan memberi jawaban langsung. Misalnya, saat mahasiswa Fisika di Universitas Airlangga mengerjakan soal elektrodinamika, Khanmigo meminta mereka menjelaskan logika di balik jawaban salah, lalu mengarahkan ke konsep seperti hukum Gauss. Pendekatan Sokratis ini membantu mahasiswa memahami, bukan sekadar menyalin.

Khanmigo juga unggul di bidang lain. Mahasiswa teknik di ITB bisa meminta bantuan untuk simulasi dinamika fluida, dan AI ini akan menganalisis kesalahan serta menyarankan solusi spesifik. Di kelas fisika teoretis, mahasiswa di UGM bisa “berdiskusi” dengan AI yang berperan sebagai Richard Feynman untuk memahami konsep relativitas. Pengalaman ini membuat belajar lebih interaktif dan relevan—sesuatu yang sulit dicapai di kelas besar dengan 50-100 mahasiswa.

Bagi dosen, AI adalah asisten impian. Di Universitas Airlangga, dosen Fisika bisa menggunakan AI untuk membuat modul kuliah, merancang soal ujian tentang optik, atau menyederhanakan paper ilmiah untuk mahasiswa S1. Saya pernah mencoba ChatGPT untuk menyusun ujian akhir tentang mekanika kuantum, yang biasanya memakan waktu berjam-jam, selesai dalam 30 menit. AI juga bisa mengubah teks rumit, seperti persamaan Schrödinger, menjadi penjelasan yang lebih mudah dipahami. Dengan AI, dosen bisa fokus pada diskusi ilmiah dengan mahasiswa, bukan terjebak dalam tugas administratif.

Mengubah Model Belajar di Kelas: Dari Hafalan ke Eksperimen Kreatif

Kehadiran AI memaksa kampus Indonesia mengevaluasi model belajar yang usang. Banyak kuliah Fisika di Indonesia masih mengandalkan ceramah panjang, soal hitungan rutin, dan tugas berbasis hafalan. Natanagara menyoroti bahwa definisi kecerdasan yang berfokus pada akumulasi fakta dan prosedur sudah tidak relevan. AI unggul dalam hal ini: mereka menghitung lebih cepat, menghafal lebih akurat, dan menyusun data lebih rapi. Jika kampus seperti Universitas Airlangga tetap menggunakan model lama, mahasiswa akan semakin tergoda menggunakan AI untuk “curang.”

Solusinya adalah mengubah model belajar menjadi aktif, kolaboratif, dan berbasis pengalaman. Di Universitas Airlangga, dosen Fisika bisa mengganti tugas individu dengan proyek kelompok, seperti merancang eksperimen sederhana untuk mengukur konstanta Planck menggunakan LED. Mahasiswa boleh menggunakan AI untuk simulasi awal, tetapi harus menganalisis hasil eksperimen dan mempresentasikannya secara langsung. Pendekatan ini mendorong berpikir kritis, kerja tim, dan kreativitas—kemampuan yang tidak bisa digantikan AI.

Contoh lain, di kelas fisika material di Universitas Brawijaya, dosen bisa meminta mahasiswa merancang prototipe material superkonduktor menggunakan AI untuk analisis sifat material, lalu mendiskusikan aplikasi praktis dalam debat kelas. Di Universitas Indonesia, mahasiswa fisika komputasi bisa berkolaborasi dengan AI untuk simulasi galaksi, tetapi harus menulis refleksi tentang implikasi temuan mereka bagi astrofisika. Natanagara menekankan active learning: ajak mahasiswa bereksperimen, merefleksikan hasil, dan menghubungkan pelajaran dengan dunia nyata, seperti, “Bagaimana konsep ini bisa diterapkan di industri energi Indonesia?”

AI juga bisa jadi alat kreatif. Mahasiswa Fisika di Institut Teknologi Sepuluh Nopember bisa menggunakan AI untuk memvisualisasikan medan elektromagnetik, lalu mengembangkan model orisinal berdasarkan analisis mereka. Mahasiswa teknik nuklir di UGM bisa menggunakan AI untuk simulasi reaktor, lalu mendiskusikan etika penggunaan energi nuklir. Pendekatan ini menjawab pertanyaan klasik mahasiswa: “Buahnya apa sih belajar fisika ini?”

Mereformasi Model Ujian: Mengukur Kecerdasan Manusia, Bukan Mesin

Model ujian di kampus Indonesia juga perlu direformasi. Ujian pilihan ganda atau soal hitungan berbasis hafalan, seperti yang umum di Universitas Airlangga, terlalu mudah “ditaklukkan” AI. Natanagara mengusulkan untuk mendefinisikan ulang kecerdasan dengan fokus pada kemampuan unik manusia: berpikir abstrak, merefleksikan makna, dan menunjukkan empati. Ujian harus mengukur kemampuan ini, bukan sekadar memori.

Salah satu solusi adalah mengganti ujian tertulis dengan asesmen berbasis proyek. Di Universitas Airlangga, mahasiswa Fisika bisa diminta merancang eksperimen untuk mengukur efek Doppler dalam gelombang suara, menggunakan AI untuk simulasi, tetapi dievaluasi berdasarkan presentasi lisan dan diskusi tentang aplikasi teknologi sonar. Di Universitas Padjadjaran, mahasiswa bisa diminta menganalisis fenomena fisika dalam konteks lokal, seperti gempa di Jawa Barat, dan menyusun solusi mitigasi dalam debat terbuka, dengan AI hanya untuk riset awal.

Pendekatan lain adalah ujian berbasis refleksi dan koneksi. Natanagara menyarankan pertanyaan seperti, “Bagaimana teori relativitas memengaruhi pandanganmu tentang teknologi?” atau “Apa dampak fisika kuantum bagi industri di Indonesia?” Mahasiswa Fisika di Universitas Hasanuddin bisa diminta menghubungkan teori elektromagnetisme dengan tantangan energi terbarukan di Sulawesi, menggunakan AI untuk data teknis, tetapi menulis refleksi pribadi tentang solusi mereka. Ujian semacam ini mengukur empati, kreativitas, dan pemikiran kontekstual—hal yang tidak bisa ditiru AI.

Untuk mencegah kecurangan, dosen bisa menerapkan asesmen lisan atau wawancara. Di Universitas Negeri Surabaya, dosen bisa mengadakan sesi tanya jawab pasca-tugas, meminta mahasiswa menjelaskan proses berpikir mereka. AI mungkin bisa menulis laporan, tetapi tidak bisa meniru pemahaman mendalam dalam diskusi spontan. Dosen juga bisa menetapkan aturan: AI boleh digunakan untuk riset atau penyuntingan, tetapi tidak untuk menulis jawaban utuh. Dengan begitu, AI menjadi alat bantu, bukan pengganti usaha.

Mempersiapkan Mahasiswa untuk Dunia Kerja di Era AI

Matt Miller menyatakan bahwa ChatGPT adalah AI paling sederhana yang akan digunakan mahasiswa. Di Indonesia, di mana industri teknologi seperti Tokopedia dan Traveloka berkembang pesat, AI sudah jadi bagian dari dunia kerja. Jika kampus melarang AI, mahasiswa Fisika dari Universitas Airlangga tidak akan siap bersaing di perusahaan seperti Pertamina atau Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Natanagara menambahkan bahwa AI ada di mana-mana: dari asisten suara hingga aplikasi yang menghilangkan hambatan bahasa. Pasar AI global mencapai 140 miliar dolar pada 2022, dan Indonesia punya peluang besar di sektor ini.

Namun, mengintegrasikan AI di kampus Indonesia bukan tanpa tantangan. Banyak dosen, terutama di universitas daerah, masih terbatas dalam literasi digital. Akses internet yang tidak merata, seperti di kampus-kampus di Nusa Tenggara atau Papua, juga jadi kendala. Untuk mengatasi ini, Kementerian Pendidikan perlu berinvestasi dalam pelatihan dosen dan infrastruktur teknologi. Program Kampus Merdeka bisa menjadi wadah untuk mengenalkan AI melalui magang di perusahaan teknologi atau proyek kolaborasi dengan startup.

Sal Khan menegaskan bahwa AI seperti Khanmigo dirancang untuk menjadi tutor Sokratis, bukan pemberi jawaban. Inovasi seperti membiarkan AI “berpikir sebelum berbicara” meningkatkan akurasinya sebagai pembimbing. Natanagara mengingatkan bahwa AI tidak bisa meniru kemampuan manusia untuk berpikir abstrak, memahami perasaan, atau menciptakan solusi inovatif. Di Indonesia, dengan tantangan lokal seperti energi terbarukan atau mitigasi bencana, kemampuan ini sangat berharga.

AI: Ancaman atau Harapan untuk Kampus Indonesia?

Ada dua pandangan tentang AI. Pessimis melihatnya sebagai ancaman yang bisa menciptakan skenario dystopia, mendorong seruan untuk menghentikan pengembangannya. Optimis percaya kita pernah melewati perubahan besar seperti Revolusi Industri dan bisa beradaptasi lagi. Sal Khan menawarkan jalan tengah: ini bukan soal menunggu nasib, tetapi berpartisipasi aktif. Jika kampus seperti Universitas Airlangga melarang AI, mereka berisiko tertinggal, sementara industri terus maju. Sebaliknya, jika hanya optimistis tanpa strategi, kita bisa kehilangan kendali atas dampak AI.

Solusinya adalah mengintegrasikan AI dengan bijak. Kampus harus mengajarkan mahasiswa cara menggunakan AI secara etis, seperti untuk simulasi fisika atau analisis data, sambil menekankan berpikir kritis dan kreativitas. Dosen perlu merancang ulang kurikulum untuk fokus pada active learning dan asesmen yang mengukur kecerdasan manusia. Pemerintah dan universitas harus memastikan infrastruktur dan pelatihan mendukung transformasi ini.

AI bisa menjawab tantangan pendidikan tinggi di Indonesia, seperti rasio dosen-mahasiswa yang tidak ideal atau akses terbatas ke sumber belajar. Dengan AI, mahasiswa di Universitas Terbuka bisa mendapatkan bimbingan personal meski belajar jarak jauh. Dosen di Universitas Sam Ratulangi bisa menghemat waktu untuk penelitian. Lebih dari itu, AI bisa membantu kampus Indonesia melahirkan lulusan yang siap bersaing di pasar global, sembari tetap menghargai konteks lokal seperti keberagaman budaya dan tantangan lingkungan.

Sama seperti internet mengubah dunia tiga dekade lalu, AI akan meresap ke setiap aspek pendidikan tinggi. Prosesnya sudah dimulai—mahasiswa di Universitas Airlangga sudah menggunakan AI di ponsel mereka, dan dosen mulai mencoba ChatGPT untuk mengajar. ChatGPT, GPT-4, dan Khanmigo adalah langkah awal menuju era baru. Kampus Indonesia harus bergerak cepat: ajarkan mahasiswa cara memanfaatkan AI dengan bertanggung jawab, rancang ulang model belajar dan ujian, dan bangun ekosistem yang mendukung inovasi.

Tahun depan, kita tidak ingin dosen Fisika di kedai kopi Universitas Airlangga mengeluh tentang mahasiswa yang curang dengan AI. Sebaliknya, kita ingin mereka berbagi cerita tentang mahasiswa yang menggunakan AI untuk menciptakan solusi cemerlang—mungkin simulasi energi terbarukan untuk Jawa Timur atau model prediksi gempa yang inovatif. Dan kita, sebagai bagian dari dunia akademik Indonesia, punya peran besar untuk mewujudkan masa depan itu, dengan menjadikan AI sebagai mitra, bukan ancaman.

Soegianto @Dosen yang memaksa mahasiswanya menggunakan AI dalam kelas

soegianto@fst.unair.ac.id

Categories:

Tags:

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *